Nama :
Taufiqqurrohman
PTAI :
STAIN Ponorogo
Nim : 210209053
Jurusan :
Syari’ah
Prodi :
Muaamalah
JUAL-BELI SAHAM DALAM ISLAM
Saham
Saham
adalah surat berharga yang merupakan tanda penyertaan modal pada perusahaan
yang menerbitkan saham tersebut. Dalam Keppres RI No. 60 tahun 1988 tentang
Pasar Modal, saham didefinisikan sebagai, “surat berharga yang merupakan tanda
penyertaan modal pada perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam KUHD (Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang atau Staatbald No. 23 Tahun 1847).” (Junaedi, 1990).
Adapun obligasi (bonds, as-sanadat) adalah bukti pengakuan utang
dari perusahaan (emiten) kepada para pemegang obligasi yang bersangkutan
(Siahaan & Manurung, 2006).
Selain
terkait dengan pasar modal, saham juga terkait dengan PT (perseroan terbatas, limited
company) sebagai pihak yang menerbitkannya. Dalam UU No. 1 tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas pasal 1 ayat 1, perseroan terbatas didefinisikan
sebagai, “badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, yang melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham”. Modal
dasar yang dimaksud terdiri atas seluruh nilai nominal saham (Ibid.,
pasal 24 ayat 1).
Pasar Modal
Pasar
modal adalah sebuah tempat modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan
modal (pihak investor) dan orang yang membutuhkan modal (pihak issuer/emiten)
untuk mengembangkan investasi. Dalam UU Pasar Modal No. 8 tahun 1995, pasar
modal didefinisikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum
dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.”
(Muttaqin, 2003).
Para pelaku pasar modal ini ada 6 (enam) pihak, yaitu:
1.
Emiten, yaitu badan usaha (perseroan terbatas) yang menerbitkan
saham untuk menambah modal, atau menerbitkan obligasi untuk mendapatkan utang
dari para investor di Bursa Efek.
2.
Perantara Emisi, yang meliputi 3 (tiga) pihak: a.
Penjamin Emisi (underwriter), yaitu: perusahaan perantara yang menjamin
penjualan emisi, dalam arti, jika saham atau obligasi belum laku, penjamin
emisi wajib membeli agar kebutuhan dana yang diperlukan emiten terpenuhi sesuai
rencana; b. Akuntan Publik, yaitu pihak yang berfungsi memeriksa kondisi
keuangan emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah
dikeluarkan oleh emiten wajar atau tidak. c. Perusahaan Penilai (appraisal),
yaitu perusahaan yang berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap emiten,
apakah nilai aktiva emiten wajar atau tidak.
3.
Badan
Pelaksana Pasar Modal, yaitu badan yang mengatur dan mengawasi jalannya pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting) dari lantai
bursa dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan pasar
modal. Di Indonesia Badan Pelaksana Pasar Modal adalah BAPEPAM (Badan Pengawas
dan Pelaksana Pasar Modal) yang merupakan lembaga pemerintah di bawah Menteri
Keuangan.
4.
Bursa Efek, yakni tempat
diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal yang didirikan oleh
suatu badan usaha. Di Indonesia terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa Efek
Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (BES)
yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.
5.
Perantara Perdagangan Efek, yaitu
makelar (pialang/broker) dan komisioner yang hanya lewat kedua lembaga itulah
efek dalam bursa boleh ditransaksikan. Makelar adalah perusahaan pialang
(broker) yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan orang
lain dengan memperoleh imbalan. Adapun komisioner adalah pihak yang melakukan
pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan sendiri atau untuk orang lain
dengan memperoleh imbalan.
6.
Investor, yaitu
pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa efek dengan membeli
atau menjual kembali efek tersebut (Junaedi, 1990; Muttaqin, 2003; Syahatah
& Fayyadh, 2004).
Dalam
pasar modal, proses perdagangan efek (saham dan obligasi) terjadi melalui
tahapan pasar perdana (primary market), kemudian pasar sekunder (secondary
market). Pasar perdana adalah penjualan perdana saham dan obligasi oleh
emiten kepada para investor, yang terjadi pada saat IPO (Initial Public
Offering) atau penawaran umum pertama. Kedua pihak yang saling memerlukan
ini tidak bertemu secara fisik dalam bursa, tetapi melalui pihak perantara
seperti dijelaskan di atas. Dari penjualan saham dan efek di pasar perdana
inilah pihak emiten memperoleh dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan
usahanya.
Adapun
pasar sekunder adalah pasar yang terjadi sesaat atau setelah pasar perdana
berakhir. Maksudnya, setelah saham dan obligasi dibeli investor dari emiten,
investor tersebut lalu menjual kembali saham dan obligasi kepada investor
lainnya, baik dengan tujuan mengambil untung dari kenaikan harga (capital
gain) maupun untuk menghindari kerugian (capital loss). Perdagangan
di pasar sekunder inilah yang secara reguler terjadi di bursa efek setiap
harinya.
Jual-Beli Saham dalam Pasar Modal Menurut Islam
Para
ahli fikih kontemporer sepakat, bahwa haram hukumnya memperdagangkan saham di
pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang haram. Misalnya,
perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, bisnis babi dan apa
saja yang terkait dengan babi; jasa keuangan konvensional seperti bank dan
asuransi; industri hiburan, seperti kasino, perjudian, prostitusi, media porno;
dan sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual-beli saham perusahaan seperti ini
adalah semua dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut. (Syahatah dan
Fayyadh, Bursa Efek: Tuntunan Islam dalam Transaksi di Pasar Modal, hlm.
18; Yusuf as-Sabatin, Al-Buyû‘ al-Qadîmah wa al-Mu‘âshirah wa al-Burshat
al-Mahalliyyah wa ad-Duwaliyyah, hlm. 109).
Namun, jika saham yang diperdagangkan di pasar modal itu
adalah dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha halal (misalnya di bidang
transportasi, telekomunikasi, produksi tekstil, dan sebagainya) Syahatah dan
Fayyadh berkata, “Menanam saham dalam perusahaan seperti ini adalah boleh
secara syar‘i…Dalil yang menunjukkan kebolehannya adalah semua dalil
yang menunjukkan bolehnya aktivitas tersebut.” (Syahatah
dan Fayyadh, Ibid., hlm. 17).
Namun
demikian, ada fukaha yang tetap mengharamkan jual-beli saham walau dari
perusahaan yang bidang usahanya halal. Mereka ini, misalnya, Taqiyuddin
an-Nabhani (2004), Yusuf as-Sabatin (Ibid., hlm. 109) dan Ali as-Salus (Mawsû‘ah
al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu‘âshirah, hlm. 465). Ketiganya sama-sama
menyoroti bentuk badan usaha (PT) yang sesungguhnya tidak islami. Jadi, sebelum
melihat bidang usaha perusahaannya, seharusnya yang dilihat lebih dulu adalah
bentuk badan usahanya, apakah ia memenuhi syarat sebagai perusahaan islami (syirkah
islâmiyah) atau tidak.
Aspek
inilah yang tampaknya betul-betul diabaikan oleh sebagian besar ahli fikih dan
pakar ekonomi Islam saat ini. Terbukti, mereka tidak menyinggung sama sekali
aspek krusial ini. Perhatian mereka lebih banyak terfokus pada identifikasi
bidang usaha (halal/haram), dan berbagai mekanisme transaksi yang ada, seperti
transaksi spot (kontan di tempat), transaksi option, transaksi
trading on margin, dan sebagainya (Junaedi, 1990; Zuhdi, 1993; Hasan,
1996; az-Zuhaili, 1996; al-Mushlih & ash-Shawi, 2004; Syahatah &
Fayyadh, 2004).
Taqiyuddin an-Nabhani dalam An-Nizhâm al-Iqtishâdi (2004)
menegaskan bahwa perseroan terbatas (PT, syirkah musâhamah) adalah
bentuk syirkah yang batil (tidak sah), karena bertentangan dengan
hukum-hukum syirkah dalam Islam. Kebatilannya
antara lain karena dalam PT tidak terdapat ijab dan kabul sebagaimana dalam
akad syirkah. Yang ada hanyalah transaksi sepihak dari para investor
yang menyertakan modalnya dengan cara membeli saham dari perusahaan atau dari
pihak lain di pasar modal, tanpa ada perundingan atau negosiasi apa pun baik
dengan pihak perusahaan maupun pesero (investor) lainnya. Tidak adanya
ijab-kabul dalam PT ini sangatlah fatal, sama fatalnya dengan pasangan
laki-laki dan perempuan yang hanya mencatatkan pernikahan di Kantor Catatan
Sipil, tanpa adanya ijab dan kabul secara syar‘i. Sangat fatal, bukan?
Maka dari itu, pendapat kedua yang mengharamkan bisnis saham ini (walau bidang
usahanya halal) adalah lebih kuat (râjih), karena lebih teliti dan jeli
dalam memahami fakta, khususnya yang menyangkut bentuk badan usaha (PT).
Apalagi sandaran pihak pertama yang membolehkan bisnis saham—asalkan bidang
usaha perusahaannya halal—adalah al-Mashâlih al-Mursalah, sebagaimana
analisis Yusuf As-Sabatin (Ibid., hlm. 53). Padahal menurut Taqiyuddin
an-Nabhani, al-Mashâlih al-Mursalah adalah sumber hukum yang lemah,
karena ke-hujjah-annya tidak dilandaskan pada dalil yang qath‘i (Asy-Syakhshiyah
al-Islâmiyah, III/437).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar