GADAI
Makalah Ini Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas
Mata kuliah ‘’ TAFSIR AHKAM II ’’
DOSEN PENGAMPU
LUTFI HADI AMINUDIN. M.Ag.
Disusun Oleh :
TAUFIK QURRAHMAN
NIM : 210209053
JURUSAN SYARIAH
PROGAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2010
PENDAHULUAN
Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup
saling tolong-menolong dengan berdasar pada rasa tanggung jawab bersama,
jamin-menjamin, dan tanggung-menanggung dalam hidup bermasarakat. Salah satu
contoh ajaran islam adalah hak milik kebendaan yang ditegaskan berfungsi
sosial. Hak milik perorangan dalam ajaran islam tidaklah bersifat mutlak,
tetapi terkait dengan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, pemilik benda tidak
sepenuhnya bebas memperlakukan harta benda miliknya. Dalam mengembangkan harta
benda, islam melarang cara-cara yang mengandung unsur-unsur penindasan,
pemerasan, atau penganiayaan terhadap orang lain. Begitu juga halnya dengan
memberikan pinjaman uang yang amat membutuhkan, tetapi dengan dibebani
kewajiban tambahan dalam pembayarannya kembali sebagai timbangan jangka waktu
yang telah diberikan amatlah memberatkan pihak peminjam.
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283 telah dijelaskan bahwa
gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah di mana
sikap tolong-menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam
sebuah hadist dari Rasullulah SAW dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah di sana nampak sekali sikap tolong-menolong
antara Rasullulah SAW dengan orng yahudi pada saat Rasul menggadaikan baju
besinya kepada orang yahudi tersebut.[1]
Berdasarkan pemaparan di atas maka pada hakikatnya fungsi gadai
adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan
dalam bentuk barang yang digadaikan sebagai jaminan, bukan karena semata-mata
untuk kepentingan komersial dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya
tanpa menghiraukan orang lain. Karena itulah makalah ini akan membahas secara
mendalam mengenai gadai. Adapan sistematika pembahasan terdiri dari :
1.
Penjejasan
tafsir al-Mufrodat.
2.
Kandungan
ayat.
3.
Pengertian
gadai.
4.
Dasar
hukum gadai, serta pendapat ulama’ tentang gadai.
PEMBAHASAN
Artinya : Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan
seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika
sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah,
Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, Karena barang siapa
menyembunyikannya, Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya
ia adalah orang yang berdosa hati-nya. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Al-Baqarah:283).[2]
TAFSIR AL-MUFRODAT
ولم تخد وا كا
تبا فر هن : (Sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang jaminan). Dalam keterangan lain ر هن
diartikan menyerahkan barang untuk dipegang sebagai jaminan atas
suatu hak agar dapat dipenuhi pembayaran dengan harganya bila terjadi halangan
dalam mendapatkan hak tersebut (kembali).[4]
مقبو ضة : (Yang dipegang), yang memperkuat kepercayaanmu.
فإ ن امن بعضكم
بعض : (Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang lain) maksudnya
yang berpiutang kepada yang berhutang atas utangnya dan ia tidak dapat
menyediakan jaminan.
فليؤ د ا لذ ى ا
ؤ تمن : (Maka hendaklah yang dipercaya itu memenuhi) maksudnya orang yang
berutang.
ا ما نته :
(Amanatnya) artinya hendaklah ia membayar hutangnya.
و ليتق ا لله
ربه :
(Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya) dalam membayar
hutangnya itu.
ولا تكتموا
الشها دة : (Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian) jika kamu dipanggil
untuk mengemukakannya.
ومن يكتمها فإ
نه اثم قلب : (Dan
barang siapa menyembunyikannya, maka ia adalah orang yang berdosa hatinya)
dikhususkan menyebutkannya di sini, karena hati itulah yang menjadi tempat
kesksian dan juga apabila hati berdosa, maka akan diikuti oleh lainnya, hingga
akan menerima hukuman sebagaimana dialami oleh anggota tubuhnya.[5]
KANDUNGAN AYAT
Bolehnya
memberi barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman, atau dengan kata lain
menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dengan perjalan, tetapi itu bukan
berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan. Nabi saw. pernah
menggadaikan perisai beliau kepada seorang yahudi, padahal ketika itu beliau
berada di Madinah. Dengan demikian penyebutan kata dalam perjalanan,
hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan.[6]
Jika
kebetulan orang yang melakukan
utang-piutang itu saling mempercayai, maka hendaklah orang yang dipercayai itu
melaksanakan amanatnya dengan sempurna pada waktu yang telah ditentukan.
Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan jangan pernah sampai mengkhianati
amanatnya.[7]
Disini
jaminan bukanlah berbentuk tulisan atau saksi, tetapi melainkan kepercayaan dan
amanah timbal-balik. Hutang ditetima oleh penghutang, dan barang jaminan
diberikan kepada pemberi hutang.
Amanah
adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa
sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara
sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka
ia akan menerimanya utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi.
Yang menerimanya pun menerima atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa
yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi/penitip
tidak akan meminta melebihi dari apa yang diberikan atau dari kesepakatan kedua
belah pihak. Karena itu lanjutan ayat itu mengingatkan agar, dan hendaklah
ia, yakni yang menerima atau memberi, bertakwa kepada Allah Tuhan
Pemelihara-nya.[8]
Kepada
para saksi, yang pada hakikatnya juga memikil amanah kesaksian, diingatkan janganlah
kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan
mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang
diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahui oleh-nya. Dan barang
siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hati-nya.
Tuhan
menyandarkan beberapa pekerjaan tertentu kepada hati, sebagaiman Dia
menyandarkan beberapa pekerjaan kepada pendengaran dan penglihatan. Di antara
dosa-dosa jiwa adalah buruk kasad (niat buruk) dan dengki. Ayat ini menunjukkan
bahwa manusia disiksa karena tidak mau mengerjakan yang ma’ruf, dan mengerjakan
yang munkar. Tujuan menulis surat perjanjian dan menghadirkan saksi untuk
memperkuat kepercayaan antara si pemberi utang dan si pengutang. Secara hukum
surat perjanjian lebih kuat daripada kesaksian. Pemberi utang, yang berutang,
dan saksi berpegang pada surat perjanjian.[9]
PENGERTIAN GADAI
Gadai
atau hak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik si berhutang
yang diserahkan ke tangan si pemiutang sebagai jaminan pelunasan hutang si
berhutang tersebut. Jaminan dengan benda tak bergerak disebut hepotek (hak
benda terhadap sesuatu benda tak bergerak yang memberi hak preferensi kepada
seseorang yang berpiutang/pemegang hepotek untuk memungut piutangnya dari hasil
penjualannya tersebut).[10]
Gadai
diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari
kekuasaan si pemiutang. Si pemiutang gadai berhak menguasai benda yang
digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak
berhak mempergunakan benda itu.
DASAR HUKUM GADAI
1.
Al-Quran
surat Al-baqarah ayat 283.
Artinya
: Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang
penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah
kamu menyembunyikan kesaksian, Karena barang siapa menyembunyikannya, Dan
barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hati-nya. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Al-Baqarah:283)
2.
Hadist
Nabi
“Dari
Anas, berkata: “Rasulullah telah menggadaikan baju besi beliau kepada seorang
yahudi si madinah, sewaktu beliau menghutang syar (gandum) dari orang yahudi
tersebut untuk keluarga beliau”.
(HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Para
ulama’ semua sependapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya boleh. Namun ada yang
berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan
bepergian saja, seperti paham yang dianut oleh Mazhab Zahiri, Mujahid, dan
al-Dhahak. Sedangkan jumhur ulama’ membolehkan gadai, baik dalam bepergian
maupun tidak, seperti yang dilakukan Rasulullah di Madinah, seperti yang telah
dijelaskan dalam hadist di atas.[11]
PEMANFAATAN BARANG GADAI
Adapun
mengenai boleh tidaknya barang gadai diambil manfaatnya, beberapa ulama’ berbeda
pendapat. Namun menurut Syafi’i dari kesaksian perbedaan pendapat para ulama’
yang tergabung dalam beberapa mazhab, yaitu mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi,
mazhab Hambali, serta mazhab Maliki sebenarnya ada titik yang mengerahkan
menuju kesamaan dari pendapat mereka. Inti dari kesamaan mazhab tersebut
terletak pada pemanfaatan barang gadaian pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh
syara’, namun apabila pemanfaatan barang tersebut telah mendapatkan izin dari
kedua belah pihak, maka pemanfaatan barang tersebut diperbolehkan. Untuk lebih
jelasnya mengenai pendapat para ulama’ tentang pemanfaatan barang gadaian
adalah sebagai berikut :[12]
1.
Ulama’
Syafi’iyah
Manfaat
dari barang jaminan atau gadaian adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada
sesuatu pun dari barang gadaian itu bagi yang menerima gadai. Orang yang
menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan,
meskipun barang yang digadaikan itu ada di bawah kekuasaan pihak penerima
gadai. Kekuasaan pihak penerima gadai atas barang yang digadaikan tidak hilang
kecuali ketika mengambil manfaat atas barang gadai tersebut.
Kemudian
Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa tasarruf yang dapat mengurangi harga barang yang
digadaikan adalah tidak sah, kecuali atas izin penerima gadai. Oleh karena itu
tidak sah bagi pihak penggadai untuk menyewakan barang yang digadaikan kecuali
atas izin penerima gadai. Selanjutnya apabila yang menerima gadai mensyaratkan
bahwa manfaat barang gadai itu baginya yang disebut dalam akad, maka akad
tersebut rusak. Sedangkan apabila
mensyaratkannya sebelum akad, maka hal itu dibolehkan.
2.
Ulama’ Malikiyah
Mengenai
pemanfaatan dan pemungutan hasil barang gadaian, ulama’ Malikiyah berpendapat
bahwa: hasil barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya,
adalah termasuk hak-hak yang menggadaikan. Hasil gadaian itu adalah bagi yang
menggadaikan selama pihak penerima gadai tidak mensyaratkannya. Apabila pihak
penerima gadai mensyaratkan bahwa hasil barang gadaian itu untuknya, maka hal
itu bisa saja dengan beberapa syarat yaitu:
a.
Utang
disebabkan karena jual beli dan bukan karena menguntungkan. Hal ini bisa
terjadi seperti orang menjual barang dengan harga tangguh (tidak dibayar
kontan), kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barangsesuai dengan
utangnya, maka hal itu dibolehkan.
b.
Pihak
penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat barang gadai adalah untuknya.
c.
Jangka
waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan. Apabila tidak
ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak sah.
3.
Ulama’
Hanabilah
Ulama’
hanabilah dalam hal ini memperhatikan barang yang digadaikan itu sendiri, yaitu
hewa atau bukan hewan, sedangkan hewanpun dibedakan pula antara hewan yang
dapat diperah atau ditunggangi, dan hewan yang tidak dapat diperah atau
ditunggangi. Pendapatnya adalah sebagai berikut:
Barang
yang digadaikan ada kalanya hewan yang dapat ditunggangi dan diperah dean ada
kalanya bukan hewan, maka apabila yang digadaikan berupa hewan yang dapat
ditunggangi, pihak penerima gada dapat mengambil manfaat barang gadaian
tersebut dengan menungganginya dan memerah susunya tanpa seizin yang
menggadaikan. Adapun jika barang tersebut tidak dapat ditunggangi dan diperah
susunya, maka dalam hal ini dibolehkan bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat
barang tersebut dengan seizin dari pihak penggadai dengan catatan gadai itu
bukan sebab utang.
4.
Ulama’
Hanafiyah
Menurut
ulama’ Hanafiyah tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang gadaian yang
mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, maka apabila yang menggadaikan
memberi izin, maka penerima gadai sah mengambil manfaat dari barang yang
digadaikan oleh penggadai. Adapun alasan bagi para ulama’ Hanafiyah bahwa yang
berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan adalah sebagai berikut:
a.
Hadist
Rasulullah SAW:
“Dari
Abu Shalih dari Abu Hurairah, “sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barang jaminan
utang bisa ditunggangi dan diperah dan atas dasar menunggangi dan memerah
susunya wajib nafkah”.
(HR. Bukhari).
b.
Menggunakan
alasan berdasarkan akal (rasio).
Sesuai
dengan fungsinya barang gadaian sebagai jaminan dan sebagai kepercayaan bagi
penerima gadai, maka barang tersebut dikuasai oleh penerima gadai. Dalam hal
ini para ulama’ Hanafiyah berpendapat yaitu:
Apabila
barang gadaian dikuasai oleh pemberi gadai, berarti keluar dari tangannya dan
barang jaminan menjadi tidak ada artinya. Sedangkan apabila barang gadaian
dibiarkan tidak dimanfaatkan oleh yang menguasainya, maka berarti menghilangkan
manfaat dari barang tersebut, apabila barang tersebut memerlukan biaya untuk
pemeliharaannya. Kemudian jika setiap saat pemberi gadai harus datang kepada
penerima gadai untuk memelihara dan mengambil manfaatnya, hal ini akan
mendatangkan madharat bagi kedua belah pihak terutama bagi pihak pemberi gadai.
Demikian pula bila setiap kali penerima gadai harus memelihara dan menyerahkan
manfaat barang gadaian kepada pemberi gadai, ini pun sama madharatnya, maka
dengan demikian penerima gadailah yang berhak menerima manfaat barang gadaian
tersebut karena ia pulalah yang memelihara dan menahah barang tersebut sebagai
jaminan.
KESIMPULAN
Gadai
atau hak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik si berhutang
yang diserahkan ke tangan si pemiutang sebagai jaminan pelunasan hutang si
berhutang tersebut. Jaminan dengan benda tak bergerak disebut hepotek (hak
benda terhadap sesuatu benda tak bergerak yang memberi hak preferensi kepada
seseorang yang berpiutang/pemegang hepotek untuk memungut piutangnya dari hasil
penjualannya tersebut).
Gadai
diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari
kekuasaan si pemiutang. Si pemiutang gadai berhak menguasai benda yang
digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak
berhak mempergunakan benda itu.
Dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 283 telah dijelaskan bahwa
gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah di mana
sikap tolong-menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam
sebuah hadist dari Rasullulah SAW dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah di sana nampak sekali sikap tolong-menolong
antara Rasullulah SAW dengan orang yahudi pada saat Rasul menggadaikan baju
besinya kepada orang yahudi tersebut.
Adapun mengenai boleh tidaknya barang gadai diambil manfaatnya,
beberapa ulama’ berbeda pendapat. Namun menurut Syafi’i dari kesaksian
perbedaan pendapat para ulama’ yang tergabung dalam beberapa mazhab, yaitu
mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi, mazhab Hambali, serta mazhab Maliki sebenarnya
ada titik yang mengarahkan menuju kesamaan dari pendapat mereka. Inti dari
kesamaan mazhab tersebut terletak pada pemanfaatan barang gadaian pada dasarnya
tidak diperbolehkan oleh syara’, namun apabila pemanfaatan barang tersebut
telah mendapatkan izin dari kedua belah pihak, maka pemanfaatan barang tersebut
diperbolehkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahali, Imam
Jalaluddin dan as-Suyuti, Imam
Jalaluddin. Tafsir Jalalain. (Terjemahan: Bahrun Abubakar).
Bandung: Sinar Baru Algensindo.2003.
Ar-Rifa’i,
Usamah Abdul Karim. at-Tafsirul Wajiz li Kitabillahil ‘Aziz. (Terjemahan:
Ust. Tajuddin). Jakarta: Gema Insani.2008.
Hadi, Muhamad Sholikul. Pegadaian Syari’ah. Jakarta: Salemba
Diniyah. 2003.
Hasan, M.Ali. Berbagai
Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
Hasbi
Ash-Shiddieqi, Teungku Muhamad. Tafsira al-Qur’anul Majid an-Nuur.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2000.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
2000.
[2] Usamah Abdul Karim Ar-Rifa’i. At-Tafsirul Wajiz li Kitabillahil ‘Aziz.
(Terjemahan: Ust. Tajuddin). Jakarta: Gema Insani. 2008. 50.
[3] Imam Jalaluddin Al-Mahali, Dan Imam Jalaluddin As-Suyuti. Tafsir Jalalain. (Terjemahan:
Bahrun Abubakar). Bandung: Sinar Baru Algensindo.2003. 159.
[5] Imam Jalaluddin Al-Mahali, Dan
Imam Jalaluddin As-Suyuti. Tafsir Jalalain. 159-160
[7] Teungku Muhamad.
Hasbi Ash-Shiddieqi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra. 2000. 505.
[9] Hasbi Ash-Shiddieqi. Tafsir
Al-Qur’anul Majid An-Nuur. 506.
[10] M.Ali Hasan. Berbagai
Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003. 235.
[11] Ibid, Hal 554-555.