Rabu, 25 April 2012

GADAI


GADAI
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas
Mata kuliah ‘’ TAFSIR AHKAM II ’’


satain.jpg

DOSEN PENGAMPU
LUTFI HADI AMINUDIN. M.Ag.

Disusun Oleh :
TAUFIK QURRAHMAN
NIM : 210209053



JURUSAN SYARIAH
PROGAM STUDI MUAMALAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2010

PENDAHULUAN
Islam telah mengajarkan kepada seluruh umat manusia untuk hidup saling tolong-menolong dengan berdasar pada rasa tanggung jawab bersama, jamin-menjamin, dan tanggung-menanggung dalam hidup bermasarakat. Salah satu contoh ajaran islam adalah hak milik kebendaan yang ditegaskan berfungsi sosial. Hak milik perorangan dalam ajaran islam tidaklah bersifat mutlak, tetapi terkait dengan kewajiban-kewajiban kemasyarakatan, pemilik benda tidak sepenuhnya bebas memperlakukan harta benda miliknya. Dalam mengembangkan harta benda, islam melarang cara-cara yang mengandung unsur-unsur penindasan, pemerasan, atau penganiayaan terhadap orang lain. Begitu juga halnya dengan memberikan pinjaman uang yang amat membutuhkan, tetapi dengan dibebani kewajiban tambahan dalam pembayarannya kembali sebagai timbangan jangka waktu yang telah diberikan amatlah memberatkan pihak peminjam.
Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 283 telah dijelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah di mana sikap tolong-menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam sebuah hadist dari Rasullulah SAW dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di sana nampak sekali sikap tolong-menolong antara Rasullulah SAW dengan orng yahudi pada saat Rasul menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi tersebut.[1]
Berdasarkan pemaparan di atas maka pada hakikatnya fungsi gadai adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan dalam bentuk barang yang digadaikan sebagai jaminan, bukan karena semata-mata untuk kepentingan komersial dengan mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan orang lain. Karena itulah makalah ini akan membahas secara mendalam mengenai gadai. Adapan sistematika pembahasan terdiri dari :
1.      Penjejasan tafsir  al-Mufrodat.
2.      Kandungan ayat.
3.      Pengertian gadai.
4.      Dasar hukum gadai, serta pendapat ulama’ tentang gadai.

PEMBAHASAN

Artinya : Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, Karena barang siapa menyembunyikannya, Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hati-nya. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah:283).[2]

TAFSIR AL-MUFRODAT
و ان كنثم عل سفر                  : (Jika kamu dalam perjalanan) yakni sementara itu mengadakan utang-piutang.[3]
ولم تخد وا كا تبا فر هن          : (Sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan). Dalam keterangan lain ر هن diartikan menyerahkan barang untuk dipegang sebagai jaminan atas suatu hak agar dapat dipenuhi pembayaran dengan harganya bila terjadi halangan dalam mendapatkan hak tersebut (kembali).[4]
مقبو ضة                            : (Yang dipegang), yang memperkuat kepercayaanmu.
فإ ن امن بعضكم بعض          : (Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai yang lain) maksudnya yang berpiutang kepada yang berhutang atas utangnya dan ia tidak dapat menyediakan jaminan.
فليؤ د ا لذ ى ا ؤ تمن             : (Maka hendaklah yang dipercaya itu memenuhi) maksudnya orang yang berutang.
ا ما نته                                       : (Amanatnya) artinya hendaklah ia membayar hutangnya.
و ليتق ا لله ربه                    : (Dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya) dalam membayar hutangnya itu.
ولا تكتموا الشها دة               : (Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian) jika kamu dipanggil untuk mengemukakannya.
ومن يكتمها فإ نه اثم قلب        : (Dan barang siapa menyembunyikannya, maka ia adalah orang yang berdosa hatinya) dikhususkan menyebutkannya di sini, karena hati itulah yang menjadi tempat kesksian dan juga apabila hati berdosa, maka akan diikuti oleh lainnya, hingga akan menerima hukuman sebagaimana dialami oleh anggota tubuhnya.[5]




KANDUNGAN AYAT
Bolehnya memberi barang tanggungan sebagai jaminan pinjaman, atau dengan kata lain menggadai, walau dalam ayat ini dikaitkan dengan perjalan, tetapi itu bukan berarti bahwa menggadaikan hanya dibenarkan dalam perjalanan. Nabi saw. pernah menggadaikan perisai beliau kepada seorang yahudi, padahal ketika itu beliau berada di Madinah. Dengan demikian penyebutan kata dalam perjalanan, hanya karena seringnya tidak ditemukan penulis dalam perjalanan.[6]
Jika kebetulan  orang yang melakukan utang-piutang itu saling mempercayai, maka hendaklah orang yang dipercayai itu melaksanakan amanatnya dengan sempurna pada waktu yang telah ditentukan. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan jangan pernah sampai mengkhianati amanatnya.[7]
Disini jaminan bukanlah berbentuk tulisan atau saksi, tetapi melainkan kepercayaan dan amanah timbal-balik. Hutang ditetima oleh penghutang, dan barang jaminan diberikan kepada pemberi hutang.
Amanah adalah kepercayaan dari yang memberi terhadap yang diberi atau dititipi, bahwa sesuatu yang diberikan atau dititipkan kepadanya itu akan terpelihara sebagaimana mestinya, dan pada saat yang menyerahkan memintanya kembali, maka ia akan menerimanya utuh sebagaimana adanya tanpa keberatan dari yang dititipi. Yang menerimanya pun menerima atas dasar kepercayaan dari pemberi bahwa apa yang diterimanya, diterima sebagaimana adanya, dan kelak si pemberi/penitip tidak akan meminta melebihi dari apa yang diberikan atau dari kesepakatan kedua belah pihak. Karena itu lanjutan ayat itu mengingatkan agar, dan hendaklah ia, yakni yang menerima atau memberi, bertakwa kepada Allah Tuhan Pemelihara-nya.[8]
Kepada para saksi, yang pada hakikatnya juga memikil amanah kesaksian, diingatkan janganlah kamu, wahai para saksi, menyembunyikan persaksian, yakni jangan mengurangi, melebihkan, atau tidak menyampaikan sama sekali, baik yang diketahui oleh pemilik hak maupun yang tidak diketahui oleh-nya. Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hati-nya.
Tuhan menyandarkan beberapa pekerjaan tertentu kepada hati, sebagaiman Dia menyandarkan beberapa pekerjaan kepada pendengaran dan penglihatan. Di antara dosa-dosa jiwa adalah buruk kasad (niat buruk) dan dengki. Ayat ini menunjukkan bahwa manusia disiksa karena tidak mau mengerjakan yang ma’ruf, dan mengerjakan yang munkar. Tujuan menulis surat perjanjian dan menghadirkan saksi untuk memperkuat kepercayaan antara si pemberi utang dan si pengutang. Secara hukum surat perjanjian lebih kuat daripada kesaksian. Pemberi utang, yang berutang, dan saksi berpegang pada surat perjanjian.[9]

PENGERTIAN GADAI
Gadai atau hak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik si berhutang yang diserahkan ke tangan si pemiutang sebagai jaminan pelunasan hutang si berhutang tersebut. Jaminan dengan benda tak bergerak disebut hepotek (hak benda terhadap sesuatu benda tak bergerak yang memberi hak preferensi kepada seseorang yang berpiutang/pemegang hepotek untuk memungut piutangnya dari hasil penjualannya tersebut).[10]
Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari kekuasaan si pemiutang. Si pemiutang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak berhak mempergunakan benda itu.



DASAR HUKUM GADAI
1.      Al-Quran surat Al-baqarah ayat 283.
Artinya : Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, Karena barang siapa menyembunyikannya, Dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hati-nya. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah:283)

2.      Hadist Nabi
“Dari Anas, berkata: “Rasulullah telah menggadaikan baju besi beliau kepada seorang yahudi si madinah, sewaktu beliau menghutang syar (gandum) dari orang yahudi tersebut untuk keluarga beliau”. (HR. Ahmad, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Para ulama’ semua sependapat, bahwa perjanjian gadai hukumnya boleh. Namun ada yang berpegang pada zahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian saja, seperti paham yang dianut oleh Mazhab Zahiri, Mujahid, dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur ulama’ membolehkan gadai, baik dalam bepergian maupun tidak, seperti yang dilakukan Rasulullah di Madinah, seperti yang telah dijelaskan dalam hadist di atas.[11]

PEMANFAATAN BARANG GADAI
Adapun mengenai boleh tidaknya barang gadai diambil manfaatnya, beberapa ulama’ berbeda pendapat. Namun menurut Syafi’i dari kesaksian perbedaan pendapat para ulama’ yang tergabung dalam beberapa mazhab, yaitu mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi, mazhab Hambali, serta mazhab Maliki sebenarnya ada titik yang mengerahkan menuju kesamaan dari pendapat mereka. Inti dari kesamaan mazhab tersebut terletak pada pemanfaatan barang gadaian pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh syara’, namun apabila pemanfaatan barang tersebut telah mendapatkan izin dari kedua belah pihak, maka pemanfaatan barang tersebut diperbolehkan. Untuk lebih jelasnya mengenai pendapat para ulama’ tentang pemanfaatan barang gadaian adalah sebagai berikut :[12]
1.    Ulama’ Syafi’iyah
Manfaat dari barang jaminan atau gadaian adalah bagi yang menggadaikan, tidak ada sesuatu pun dari barang gadaian itu bagi yang menerima gadai. Orang yang menggadaikan adalah yang mempunyai hak atas manfaat barang yang digadaikan, meskipun barang yang digadaikan itu ada di bawah kekuasaan pihak penerima gadai. Kekuasaan pihak penerima gadai atas barang yang digadaikan tidak hilang kecuali ketika mengambil manfaat atas barang gadai tersebut.
Kemudian Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa tasarruf yang dapat mengurangi harga barang yang digadaikan adalah tidak sah, kecuali atas izin penerima gadai. Oleh karena itu tidak sah bagi pihak penggadai untuk menyewakan barang yang digadaikan kecuali atas izin penerima gadai. Selanjutnya apabila yang menerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat barang gadai itu baginya yang disebut dalam akad, maka akad tersebut rusak. Sedangkan apabila  mensyaratkannya sebelum akad, maka hal itu dibolehkan.
2.     Ulama’ Malikiyah
Mengenai pemanfaatan dan pemungutan hasil barang gadaian, ulama’ Malikiyah berpendapat bahwa: hasil barang gadaian dan segala sesuatu yang dihasilkan dari padanya, adalah termasuk hak-hak yang menggadaikan. Hasil gadaian itu adalah bagi yang menggadaikan selama pihak penerima gadai tidak mensyaratkannya. Apabila pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa hasil barang gadaian itu untuknya, maka hal itu bisa saja dengan beberapa syarat yaitu:
a.       Utang disebabkan karena jual beli dan bukan karena menguntungkan. Hal ini bisa terjadi seperti orang menjual barang dengan harga tangguh (tidak dibayar kontan), kemudian orang tersebut meminta gadai dengan suatu barangsesuai dengan utangnya, maka hal itu dibolehkan.
b.      Pihak penerima gadai mensyaratkan bahwa manfaat barang gadai adalah untuknya.
c.       Jangka waktu mengambil manfaat yang telah disyaratkan harus ditentukan. Apabila tidak ditentukan dan tidak diketahui batas waktunya, maka menjadi tidak sah.

3.      Ulama’ Hanabilah
Ulama’ hanabilah dalam hal ini memperhatikan barang yang digadaikan itu sendiri, yaitu hewa atau bukan hewan, sedangkan hewanpun dibedakan pula antara hewan yang dapat diperah atau ditunggangi, dan hewan yang tidak dapat diperah atau ditunggangi. Pendapatnya adalah sebagai berikut:
Barang yang digadaikan ada kalanya hewan yang dapat ditunggangi dan diperah dean ada kalanya bukan hewan, maka apabila yang digadaikan berupa hewan yang dapat ditunggangi, pihak penerima gada dapat mengambil manfaat barang gadaian tersebut dengan menungganginya dan memerah susunya tanpa seizin yang menggadaikan. Adapun jika barang tersebut tidak dapat ditunggangi dan diperah susunya, maka dalam hal ini dibolehkan bagi penerima gadai untuk mengambil manfaat barang tersebut dengan seizin dari pihak penggadai dengan catatan gadai itu bukan sebab utang.
4.      Ulama’ Hanafiyah
Menurut ulama’ Hanafiyah tidak ada bedanya antara pemanfaatan barang gadaian yang mengakibatkan kurangnya harga atau tidak, maka apabila yang menggadaikan memberi izin, maka penerima gadai sah mengambil manfaat dari barang yang digadaikan oleh penggadai. Adapun alasan bagi para ulama’ Hanafiyah bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan adalah sebagai berikut:


a.       Hadist Rasulullah SAW:
“Dari Abu Shalih dari Abu Hurairah, “sesungguhnya Nabi SAW bersabda: Barang jaminan utang bisa ditunggangi dan diperah dan atas dasar menunggangi dan memerah susunya wajib nafkah”. (HR. Bukhari). 

b.      Menggunakan alasan berdasarkan akal (rasio).
Sesuai dengan fungsinya barang gadaian sebagai jaminan dan sebagai kepercayaan bagi penerima gadai, maka barang tersebut dikuasai oleh penerima gadai. Dalam hal ini para ulama’ Hanafiyah berpendapat yaitu:
Apabila barang gadaian dikuasai oleh pemberi gadai, berarti keluar dari tangannya dan barang jaminan menjadi tidak ada artinya. Sedangkan apabila barang gadaian dibiarkan tidak dimanfaatkan oleh yang menguasainya, maka berarti menghilangkan manfaat dari barang tersebut, apabila barang tersebut memerlukan biaya untuk pemeliharaannya. Kemudian jika setiap saat pemberi gadai harus datang kepada penerima gadai untuk memelihara dan mengambil manfaatnya, hal ini akan mendatangkan madharat bagi kedua belah pihak terutama bagi pihak pemberi gadai. Demikian pula bila setiap kali penerima gadai harus memelihara dan menyerahkan manfaat barang gadaian kepada pemberi gadai, ini pun sama madharatnya, maka dengan demikian penerima gadailah yang berhak menerima manfaat barang gadaian tersebut karena ia pulalah yang memelihara dan menahah barang tersebut sebagai jaminan.








KESIMPULAN
Gadai atau hak gadai adalah hak atas benda terhadap benda bergerak milik si berhutang yang diserahkan ke tangan si pemiutang sebagai jaminan pelunasan hutang si berhutang tersebut. Jaminan dengan benda tak bergerak disebut hepotek (hak benda terhadap sesuatu benda tak bergerak yang memberi hak preferensi kepada seseorang yang berpiutang/pemegang hepotek untuk memungut piutangnya dari hasil penjualannya tersebut).
Gadai diadakan dengan persetujuan dan hak itu hilang jika gadai itu lepas dari kekuasaan si pemiutang. Si pemiutang gadai berhak menguasai benda yang digadaikan kepadanya selama hutang si berhutang belum lunas, tetapi ia tidak berhak mempergunakan benda itu.
Dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 283 telah dijelaskan bahwa gadai pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah di mana sikap tolong-menolong dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Begitu juga dalam sebuah hadist dari Rasullulah SAW dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di sana nampak sekali sikap tolong-menolong antara Rasullulah SAW dengan orang yahudi pada saat Rasul menggadaikan baju besinya kepada orang yahudi tersebut.
Adapun mengenai boleh tidaknya barang gadai diambil manfaatnya, beberapa ulama’ berbeda pendapat. Namun menurut Syafi’i dari kesaksian perbedaan pendapat para ulama’ yang tergabung dalam beberapa mazhab, yaitu mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi, mazhab Hambali, serta mazhab Maliki sebenarnya ada titik yang mengarahkan menuju kesamaan dari pendapat mereka. Inti dari kesamaan mazhab tersebut terletak pada pemanfaatan barang gadaian pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh syara’, namun apabila pemanfaatan barang tersebut telah mendapatkan izin dari kedua belah pihak, maka pemanfaatan barang tersebut diperbolehkan.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahali, Imam Jalaluddin dan as-Suyuti,  Imam Jalaluddin. Tafsir Jalalain. (Terjemahan: Bahrun Abubakar). Bandung: Sinar Baru Algensindo.2003.
Ar-Rifa’i, Usamah Abdul Karim. at-Tafsirul Wajiz li Kitabillahil ‘Aziz. (Terjemahan: Ust. Tajuddin). Jakarta: Gema Insani.2008.
Hadi, Muhamad Sholikul. Pegadaian Syari’ah. Jakarta: Salemba Diniyah. 2003.
Hasan, M.Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
Hasbi Ash-Shiddieqi, Teungku Muhamad. Tafsira al-Qur’anul Majid an-Nuur. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2000.
Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. 2000.



[1]           Muhamad Sholikul Hadi. Pegadaian Syari’ah. Jakarta: Salemba Diniyah. 2003. 63.
[2]              Usamah Abdul Karim  Ar-Rifa’i.  At-Tafsirul Wajiz li Kitabillahil ‘Aziz. (Terjemahan: Ust. Tajuddin). Jakarta: Gema Insani. 2008. 50.
[3]              Imam  Jalaluddin  Al-Mahali, Dan Imam Jalaluddin  As-Suyuti. Tafsir Jalalain. (Terjemahan: Bahrun Abubakar). Bandung: Sinar Baru Algensindo.2003. 159.
[4]              Ar-Rifa’i. At-Tafsirul Wajiz li Kitabillahil ‘Aziz. 50.
[5]               Imam Jalaluddin Al-Mahali, Dan Imam Jalaluddin As-Suyuti. Tafsir Jalalain. 159-160
[6]              Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati. 2000. 570.
[7]              Teungku Muhamad. Hasbi Ash-Shiddieqi Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2000. 505.
[8]               Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah. 571.
[9]               Hasbi Ash-Shiddieqi. Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nuur. 506.

[10]             M.Ali Hasan. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003. 235.
[11]             Ibid, Hal 554-555.
[12]             Sholikul Hadi. Pegadaian Syari’ah. 2003. 66